Dalam sejarah pelaksanaan pemilu di Indonesia, istilah
pengawasan pemilu sebenarnya baru muncul pada era 1980-an. Pada pelaksanaan
Pemilu yang pertama kali dilaksanakan di Indonesia pada 1955 belum dikenal
istilah pengawasan Pemilu. Pada era tersebut terbangun trust di seluruh peserta
dan warga negara tentang penyelenggaraan Pemilu yang dimaksudkan untuk
membentuk lembaga parlemen yang saat itu disebut sebagai Konstituante.
Walaupun pertentangan ideologi pada saat itu cukup kuat,
tetapi dapat dikatakan sangat minim terjadi kecurangan dalam pelaksanaan
tahapan, kalaupun ada gesekan terjadi di luar wilayah pelaksanaan Pemilu.
Gesekan yang muncul merupakan konsekuensi logis pertarungan ideologi pada saat
itu. Hingga saat ini masih muncul keyakinan bahwa Pemilu 1955 merupakan Pemilu
di Indonesia yang paling ideal.
Kelembagaan Pengawas Pemilu baru muncul pada pelaksanaan
Pemilu 1982, dengan nama Panitia Pengawas Pelaksanaan Pemilu (Panwaslak
Pemilu). Pada saat itu sudah mulai muncul distrust terhadap pelaksanaan Pemilu
yang mulai dikooptasi oleh kekuatan rezim penguasa. Pembentukan Panwaslak
Pemilu pada Pemilu 1982 dilatari oleh protes-protes atas banyaknya pelanggaran
dan manipulasi penghitungan suara yang dilakukan oleh para petugas pemilu pada
Pemilu 1971. Karena palanggaran dan kecurangan pemilu yang terjadi pada Pemilu
1977 jauh lebih masif. Protes-protes ini lantas direspon pemerintah dan DPR
yang didominasi Golkar dan ABRI. Akhirnya muncullah gagasan memperbaiki
undang-undang yang bertujuan meningkatkan 'kualitas' Pemilu 1982. Demi memenuhi
tuntutan PPP dan PDI, pemerintah setuju untuk menempatkan wakil peserta pemilu
ke dalam kepanitiaan pemilu. Selain itu, pemerintah juga mengintroduksi adanya
badan baru yang akan terlibat dalam urusan pemilu untuk mendampingi Lembaga
Pemilihan Umum (LPU).
Pada era reformasi, tuntutan pembentukan penyelenggara
Pemilu yang bersifat mandiri dan bebas dari kooptasi penguasa semakin menguat.
Untuk itulah dibentuk sebuah lembaga penyelenggara Pemilu yang bersifat
independen yang diberi nama Komisi Pemilihan Umum (KPU). Hal ini dimaksudkan
untuk meminimalisasi campur tangan penguasa dalam pelaksanaan Pemilu mengingat
penyelenggara Pemilu sebelumnya, yakni LPU, merupakan bagian dari Kementerian
Dalam Negeri (sebelumnya Departemen Dalam Negeri). Di sisi lain lembaga
pengawas pemilu juga berubah nomenklatur dari Panwaslak Pemilu menjadi Panitia
Pengawas Pemilu (Panwaslu).
Perubahan mendasar terkait dengan kelembagaan Pengawas
Pemilu baru dilakukan melalui Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003. Menurut UU ini
dalam pelaksanaan pengawasan Pemilu dibentuk sebuah lembaga adhoc terlepas dari
struktur KPU yang terdiri dari Panitia Pengawas Pemilu, Panitia Pengawas Pemilu
Provinsi, Panitia Pengawas Pemilu Kabupaten/Kota, dan Panitia Pengawas Pemilu
Kecamatan. Selanjutnya kelembagaan pengawas Pemilu dikuatkan melalui
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu dengan
dibentuknya sebuah lembaga tetap yang dinamakan Badan Pengawas Pemilu
(Bawaslu). Adapun aparatur Bawaslu dalam pelaksanaan pengawasan berada sampai
dengan tingkat kelurahan/desa dengan urutan Panitia Pengawas Pemilu Provinsi,
Panitia Pengawas Pemilu Kabupaten/Kota, Panitia Pengawas Pemilu Kecamatan, dan
Pengawas Pemilu Lapangan (PPL) di tingkat kelurahan/desa. Berdasarkan ketentuan
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007, sebagian kewenangan dalam pembentukan
Pengawas Pemilu merupakan kewenangan dari KPU. Namun selanjutnya berdasarkan
Keputusan Mahkamah Konstitusi terhadap judicial review yang dilakukan oleh
Bawaslu terhadap Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007, rekrutmen pengawas Pemilu
sepenuhnya menjadi kewenangan dari Bawaslu. Kewenangan utama dari Pengawas
Pemilu menurut Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 adalah untuk mengawasi
pelaksanaan tahapan pemilu, menerima pengaduan, serta menangani kasus-kasus
pelanggaran administrasi, pelanggaran pidana pemilu, serta kode etik.
Dinamika kelembagaan pengawas Pemilu ternyata masih
berjalan dengan terbitnya Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 tentang
Penyelenggara Pemilu. Secara kelembagaan pengawas Pemilu dikuatkan kembali
dengan dibentuknya lembaga tetap Pengawas Pemilu di tingkat provinsi dengan
nama Badan Pengawas Pemilu Provinsi (Bawaslu Provinsi). Selain itu pada bagian
kesekretariatan Bawaslu juga didukung oleh unit kesekretariatan eselon I dengan
nomenklatur Sekretariat Jenderal Bawaslu. Selain itu pada konteks kewenangan,
selain kewenangan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007,
Bawaslu berdasarkan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 juga memiliki kewenangan
untuk menangani sengketa Pemilu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar